Sejarah PII


Pelajar Islam Indonesia disingkat PII adalah sebuah organisasi Pelajar Islam yang pertama yang didirikan di Kota Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Joesdi Ghazali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji. Organisasi ini dikenal dengan kekuatan sistem kaderisasinya.

Sejarah

Pembentukan

Salah satu faktor pendorong terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri "teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Hal ini menjadi kerisauan seorang pelajar STI Yogyakarta, Joesdi Ghazali. Oleh karena itu, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Setyodiningratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Sjahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Joesdi Ghazali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Minggu, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat dipimpin oleh Joesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Revolusi Fisik

Tak lama setelah PII berdiri pada tahun, pada tahun 1947 Belanda melancarkan agresi militer yang pertama. Dalam agresi ini kader PII terlibat dalam usaha mempertahankan negara melalui pembentukan Brigade PII di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Korps yang baru dibentuk ini ikut serta sebaga pendamping Jenderal Sudirman dalam perang gerilya. Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di Yogyakarta
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku di PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar Islam Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia."

AFS

Pada tahun 50-an PII melakukan berbagai kerjasama pendidikan dengan berbagai negara. Salah satu aktifitas yang dilakukan adalah American Field Service (AFS) berupa pertukaran pelajar di Indonesia dengan di Amerika. Beberapa kader PII yang merupakan alumni AFS ini adalah Taufiq Ismail, Tanri Abeng, dan ZA. Maulani. Belakangan program ini diambil alih oleh Pemerintah RI.

Angkatan 66


Setelah mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil alih semua kekuasaan di Indonesia terpusat di tangan presiden. Soekarno lalu mengajukan konsep persatuan antar ideologi yang hidup di Indonesia yang dikenal dengan NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis). PII yang sejak semula tidak sejalan dengan PKI menolah konsep itu bersama dengan elemen lain seperti HMI dan GPII. Pada tahun 1962, GPII dibubarkan serta dilanjutkan dengan usaha pembubaran HMI. Saat itulah PII mengeluarkan pernyataan, "Langkahi mayat PII sebelum membubarkan HMI".
Perseteruan PII dan PKI terus berlanjut terutama setelah pembubaran Masyumi di tahun 1960 dimana anak-anak PII digelari sebagai Masjumi bercelana pendek. Puncak perseteruan itu adalah teror yang dilancarkan oleh organ PKI di Kanigoro, Kediri yang dikenal sebagai Teror Subuh di Kanigoro (Kanigoro Affairs) pada januari 1965. Saat itu ratusan kader PII yang sedang melaksanakan kegiatan Mental Training diserbu oleh ratusan organ PKI.
Pada tahun 1966 PII mengkonsolidasi kekuatan pemuda pelajar dalam sebuah gerakan bernama KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Ketua Umum PB PII saat itu, M. Husni Thamrin, dipilih sebagai Sekretaris Jenderal KAPPI. Segera setelah itu KAPPI berdiri di berbagai daerah di Indonesia melalui jaringan PII sebagai pelopornya. KAPPI kemudian menjadi sarana efektif penyuaraan Tritura setelah terkekangnya aktifitas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan KAPPI tak jarang mengakibatkan kontak fisik dengan aparat keamanan. Beberapa kader PII/KAPPI tewas dalam gelombang demonstrasi tersebut. Ada Ichwan Ridhwan Rais di Jakarta, Hasanuddin di Banjarmasin, Syarif Alqadri di Makassar, Ahmad Karim di Bukittinggi, dan masih banyak yang lainnya.

Bawah Tanah

Pada tahun 1985 pemerintah orde baru menerbitkan Undang-Undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas atau asas tunggal. Undang-undang ini merupakan bagian dari paket Undang-Undang Politik dimana sebelumnya telah ada undang-undang yang mengatur hal yang sama untuk partai politik Organisasi Kemasyarakatan diberikan waktu selama dua tahun untuk menyesuaikan diri dan bagi yang tidak mematuhi akan diberikan sanksi dari pemerintah.
Terdapat tarik-menarik yang cukup heboh tentang masalah ini. Selama ini setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia bebas menggunakan asas sesuai dengan nilai yang diyakini oleh masing-masing organisasi. Pada prinsipnya semua organisasi kemasyarakatan (ormas) sepakat dan mengakui Pancasila sebagai dasar negara namun terjadi penolakan apabila semua organisasi dipaksakan menyesuaikan asas mereka dengan dasar negara. Di antara ormas Islam ada NU yang paling cepat menyesuaikan diri sedangkan Muhammadiyah akhirnya menerima setelah melalui proses yang cukup alot. HMI yang merupakan organisasi mahasiswa Islam akhirnya pecah menjadi dua kubu yakni HMI Dipo di bawah pimpinan Harry Azhar Aziz (sekarang anggota FPG DPR RI) yang kemudian dilanjutkan oleh M. Saleh Khalid dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di bawah pimpinan Eggie Sudjana (sekarang pengacara). Kubu Dipo menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas sedangkan HMI MPO menolak menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua HMI ini masing-masing mengaku sebagai HMI yang sah.
Di PII sendiri bukan tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini. Sebagian memilih menyesuaikan diri dan sebagian yang lain menolak. Penolakan kubu yang menolak adalah dengan alasan bahwa negara tidak boleh mengatur secara paksa urusan internal ormas. Kelompok ini tetap menerima Pancasila sebagai dasar negara. Sementara kelompok yang menerima beralasan bahwa PII tidak perlu terlalu memperhatikan masalah itu karena pada dasarnya PII akan lebh banyak berkutat pada masalah pelajar. Tarik-tarik ini baru selesai pada saat Deklarasi Cisarua yang memutuskan bahwa PII menolak menyesuaikan diri dengan asas tunggal. Pada 17 Juni 1987, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan pembekuan PII dan larangan segala aktifitas yang mengatasnamakan PII di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah dibekukan, secara resmi PII sudah terlarang melakukan berbagai aktifitas di Indonesia. Untuk menghadapi ini, PII telah melakukan antisipasi. Secara struktural, kegiatan PII tetap berjalan seperti biasa namun disiasati dengan menggunakan mantel atau cover. Di beberapa daerah, Pengurus Daerah PII berkegiatan dengan cover Kelompok Belajar, Kelompok Pengajian, Kelompok Arisan, serta Kelompok Hobi. Di beberapa komisariat, kegiatan disamarkan dengan cover remaja mesjid, maupun kelompok belajar. Dengan cara ini, kegiatan PII tetap berjalan walaupun sembunyi-sembunyi. Dari segi kaderisasi, PB PII juga telah menyiapkan antisipasi dengan memperkenalkan model kaderisasi yang disebut "Sebelas Bintang, Matahari Plus Rembulan". Model ini dengan segera berkembang menjadi sistem kaderisasi alternatif selama menjadi gerakan bawah tanah.

Reformasi

Menjelang Reformasi 1998, PII sedang mempersiapkan diri untuk kembali menjadi organisasi formal dalam pentas gerakan pemuda/pelajar di Indonesia. Untuk itu PII menerapkan "Strategi Kulit Bawang" dimana PII mempunyai dua Anggaran Dasar. Satu Anggaran Dasar yang asli untuk kebutuhan internal, dan satu lagi Anggaran Dasar sebagai cover untuk legalisasi. Namun dengan datangnya reformasi, strategi ini tidak diperlukan lagi.
Dari segi kaderisasi, PII sebelum reformasi juga menyiapkan sistem kaderisasi terbaru bernama Sistem Ta'dib.

Keanggotaan dan Kepemimpinan

Keanggotaan

Keanggotaan di PII ditandai dengan beberapa jenis. Jenis pertama Anggota Tunas yaitu pelajar tingkat seolah dasar yang mengikuti kegiatan pembinaan di PII. Kedua, Anggota Muda yakni pelajar tingkat sekolah menengah yang mengikuti pembinaan PII. Ketiga, Anggota Biasa yakni pelajar tingkat menengah yang telah mengikuti Basic Training PII. Keempat, Anggota Luar Biasa yakni pelajar asing yang menjadi Anggota PII. Kelima, Anggota Kehormatan yakni orang-orang yang berjasa pada PII dan diangkat sebagai anggota.
Dari semua jenis anggota itu yang mempunya hak dan kewajiban penuh untuk beraktifitas, dipilih dan memilih di PII hanya Anggota Biasa.

Kepemimpinan

Pengurus Komisariat

Pengurus Komisariat PII adalah unit terdepan pembinaan pelajar. Pengurus Komisariat berbasis di sekolah SMP atau SMA, Mesjid, atau Kelurahan. Pengurus Komisariat dipilih dalam Musyawarah Komisariat untuk masa bakti 1 tahun. Personil Pengurus Komisariat berusia rata-rata 13-17 tahun.

Pengurus Daerah

Pengurus Daerah PII adalah unit Kepemimpinan satu tingkat di atas Komisariat. Pengurus Daerah berbasis di daerah Kota atau Kabupaten walaupun tidak tertutup kemungkinan ada 2 pengurus daerah dalam satu kabupaten. Pengurus Daerah dipilih dalam Konferensi Daerah untuk masa bakti 1 tahun. Personil Pengurus Daerah berusia rata-rata 13-17 tahun. Dalam satu Pengurus Daerah biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk, Koordinator Daerah Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Daerah Badan Otonom Brigade PII. Di Pengurus Daerah juga terdapat Korps Pemandu dan Muallim.

Pengurus Wilayah

Pengurus Wilayah PII adalah unit Kepemimpinan satu tingkat di atas Daerah. Pengurus Wilayah berbasis di daerah Propinsi walaupun tidak tertutup kemungkinan ada 2 pengurus wilayah dalam satu propinsi. Pengurus Wilayah dipilih dalam Konferensi Wilayah untuk masa bakti 2 tahun. Personil Wilayah berusia rata-rata 18-22 tahun atau sedang menjadi mahasiswa S1. Dalam satu Pengurus Wilayah biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk, Koordinator Wilayah Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Wilayah Badan Otonom Brigade PII. Di Pengurus Daerah juga terdapat Korps Instruktur

Pengurus Besar

Pengurus Besar PII adalah unit Kepemimpinan tertinggi di PII. Pengurus Wilayah dipilih dalam Muktamar Nasional untuk masa bakti 2 tahun. Personil Pengurus Besar rata-rata diisi oleh mahasiswa S1 tingkat akhir dan Mahasiswa S2. Dalam Pengurus Besar biasanya ada 3 institusi yakni Badan Induk, Koordinator Pusat Badan Otonom PII Wati serta Koordinator Pusat Badan Otonom Brigade PII ditambah dengan Badan dan Lembaga Khusus. Di Pengurus Besar terdapat Dewan Ta'dib.

Badan Otonom

Korps Brigade PII

Brigade PII adalah badan otonom PII yang berbentuk kelasykaran/ketentaraan. Ia ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Brigade PII berjuang saling bahu membahu dengan saudara perjuangan lainnya seperti : TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur), Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps – Mahasiswa, CP (Corps Pelajar Solo) dan lain sebagainya.
Brigade PII diresmikan pada tanggal 6 November 1947 dengan Komandan Abdul Fattah Permana. Walaupun baru diresmikan pada tahun 1947, sebenarnya sebelumnya telah ada aktifitas ke-brigade-an di PII. Satuan yang telah ada sebelum peresmian Brigade PII adalah TPI ( Tentara Pelajar Islam Aceh ). Sebanyak 12.000 orang anggotanya langsung dikoordinir di bawah komando Komandan Koordinator Pusat Brigade PII saat itu.Di antara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah SH, Ismail Hasan Metareum SH
Peran Brigade PII sangat besar terutama di saat-saat kritis. Pada saat pemberontakan PKI Madiun, Komandan Brigade PII Madiun Surjo Sugito yang masih sekolah di Sekolah Menengah, tewas. Ketika era bawah tanah, peran Brigade yang paling utama adalah menyelamat missi dan eksistensi organisasi. Tak jarang Brigade memainkan peran yang seharusnya diperankan oleh badan induk namun terhalang oleh posisi PII sebagai organisasi yang dilarang beraktifitas di zaman orde baru.

Korps PII Wati

Sejarah

Pada awalnya gagasan Korps PII Wati lahir di Training Centre Keputerian PII se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 20-28 Juli 1963 di Surabaya. Suasana duka sangat memengaruhi TC karena GPII baru saja dibubarkan (10 Juli 1963) dan ditambah bayang-bayang suram mengenai kemungkinan menyusulnya “pembubaran PII”. TC Keputerian tersebut diikuti oleh peserta dari PB, utusan wilayah-wilayah se-Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, serta dipandu oleh bagian Kader PB PII (Muhammad Husni Thamrin, Hidayat Kusdiman, dan E. Basri Ananda).
Mengingat latar belakang yang heterogen, peserta training dibagi dalam tiga kelompok/group. Dalam TC berkembang kesadaran kuat untuk meningkatkan peranan dan kualitas kader / kepemimpinan PII Wati, serta menghapus citra negatif peran sebagai sekedar “etalase” atau “pengelola konsumsi”. Sementara fakta dan realita menunjukan bahwa kesempatan bagi puteri untuk mengembangkan diri dan berjuang di PII relatif lebih terbatas dan pendek. Beberapa peserta dari kelompok I (group Aisyah) yang terdiri dari Sri Samsiar (PB PII), Habibah Idris (PB PII), Chaerani Suty (Sumatra Utara), St Robiatun (Jogjakarta), Tuti Gitoatmodjo (Jawa Tengah), Nur Zahara Ansori (Sumatra Selatan), merumuskan gagasan pembentukan suatu wadah alternatif yang diharapkan mampu memacu / mempercepat proses kaderisasi kepemimpinan puteri yang selama ini banyak hambatannya. Inilah embrio gagasan mengenai Korps PII Wati, meski wujud konkrit lembaganya belum sempat dibicarakan lebih lanjut dalam TC itu. Realisasi gagasan itu kemudian dipelopori oleh bagian keputrian PW PII Jogjakarta Besar, yang membentuk Korps PII Wati Jogjakarta Besar pada akhir 1963.
Dalam sidang keputerian Muktamar PII X bulan Juli 1964 di Malang, disajikan 2 (dua) prasaran yang mengantarkan terbentuknya secara resmi Lembaga Korps PII Wati. Pertama dari PB PII oleh Sri Samsiar, dan kedua dari bagian keputerian PW PII Jogjakarta Besar yaitu St. Wardanah AR, Masyitoh Sjafei dan Hafsah Said.Selanjutnya Rapat Pleno I PB PII periode 1964-1966 yang dilangsungkan pada tanggal 6 September 1964, menugaskan Sri Sjamsiar selaku Ketua IV untuk mengkoordinir Bagian Keputerian PB PII dan menindaklanjuti pembentukan Korps PII Wati sebagai Keputusan Muktamar X.
Susunan Personalia Bagian Keputerian PB PII Periode (1964-1966) pada awalnya terdiri dari : Ketua : Siti Habibah Idris Wakil Ketua : Mismar Chatib Salami BA

[sunting] Tujuan Pembentukan

Apa yang ingin diwujudkan oleh Korps PII Wati dirumuskan dengan singkat dalam tujuannya yaitu: ”Terbentuknya pribadi wanita Islam yang konsekwen terhadap prinsip-prinsip Islam.”
Pembentukan Korps PII Wati tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan diri dari PII atau memisahkan PII-wan dan PII-wati secara organisatoris, seperti yang terjadi antara IPNU dan IPPNU. Oleh karena itu status Korps PII Wati adalah merupakan Badan Otonom dari bagian keputerian dalam kepengurusan PII, dan Ketua Bagian Keputerian langsung menjadi Ketua Korps PII Wati dengan masa jabatan sesuai dengan masa jabatan pengurus PII yang setara. Selanjutnya, lembaga Korps PII Wati mempunyai kekuasaan penuh kedalam, sedang ke luar dilakukan oleh pengurus PII Bagian Keputerian. Di tiap-tiap kota hanya diperkenankan adanya Korps PII Wati yang dibentuk oleh instansi tertinggi yang ada di kota tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, Korps PII Wati semakin mandiri. Pengurus Korps PII wati tidak lagi dipilih dari bidang keputrian, namun dipilih dalam musyawarah khusus dalam institusi musyawarah PII.

[sunting] Pengurus Besar dari masa ke masa

No Ketua Umum Sekretaris Jenderal Komandan Brigade Ketua PII Wati Dari Sampai
1 Joesdi Ghazali Ibrahim Zarkasji belum ada belum ada 1947 1947
2 Noersjaf Joesdi Ghazali Abdul Fattah Permana belum ada 1947 1948
3 Anton Timoer Djailani A. Halim Tuasikal
belum ada 1948 1950
4 Anton Timoer Djailani A. Halim Tuasikal
belum ada 1950 1952
5 Ridwan Hasjim

belum ada 1952 1954
6 Amir Hamzah Wirjosoekanto

belum ada 1954 1956
7 Ali Undaja

belum ada 1956 1958
8 Wartomo Dwijuwono Agus Sudono
belum ada 1958 1960
9 Thaher Sahabuddin Endang T. Djauhari
belum ada 1960 1962
10 Ahmad Djuwaeni Hartono Mardjono
belum ada 1962 1964
11 Syarifuddin Siregar Pahu M. Husni Thamrin
St. Habibah Idris 1964 1966
12 M. Husni Thamrin, digantikan oleh Utomo Dananjaya Utomo Dananjaya, digantikan Mansur Amin Gomsoni Yasin Wifra Ilyas 1966 1966
12 M. Husein Umar Khozien Arief

1966 1969
14 M. Husein Umar Khozien Arief

1969 1973
14 Usep Fathuddin Mansur Amin

1969 1973
15 Yusuf Rahimi

Nurdiati Akma 1973 1976
16 Ahmad Jonanie Aloetsjah


1976 1980
17 Masyhuri Amin Mukhri


1980 1983
18 Mutammimul Ula A. Rasyid Muhammad

1983 1986
19 Chalidin Yacobs Mukhlis Abdi

1986 1989
20 Agus Salim Abdullah Baqir Zein

1989 1992
21 Syaefunnur Maszah Abdul Rahman Farid
Marfuah Musthafa 1992 1995
22 Abdul Hakam Naja Zaenul Ula MJ, digantikan oleh Asep Efendi, digantikan oleh Subarman HS Supriatna Istianah Hamid 1995 1998
23 Djayadi Hanan Irfan Maulana Amrullah, digantikan oleh Rofiq Azhar Ujang Supriadi digantikan oleh Herry D. Kurniawan Tirta Murlina 1998 2000
24 Abdi Rahmat Fajar Nursahid, digantikan oleh Muhammad Sudjatmoko Muhammad Shood Solehuddin Nani Hayati, digantikan oleh Desi Refida Minda Sari 2000 2002
25 Zulfikar Romdin Azhar, digantikan oleh Tri Suhari Yadi Zaenal Abidin Aryani Fatimah 2002 2004
26 Delianur Jen Zuldi RZ, digantikan oleh Pujo Priyono Nurdiansyah Hanik Riwayati 2004 2006
27 Muhammad Zaid Markarma Nuril Anwar, digantikan oleh Yudi Helfi Deni Rusdiana, digantikan oleh Jamaluddin Hidayat Nur Amelia 2006 2008
28 Nashrullah Al-Ghifary Ahmad Jojon Novandri Ahmad Syahidin Nur Amelia 2008 2010
29 Muhammad Ridha Ridhwan Zulmi Zulfikar Kareung Maryam Ali 2010 2012

[sunting] Kaderisasi

Salah satu kelebihan organisasi pelajar ini adalah pada sistem kaderisasinya, yaitu sistem Ta'dib. Organisasi ini mempunyai pola kaderisasi berjenjang yang mengkombinasikan aktivisme, intelektualisme, dan religiusitas. Istilah Ta'dib dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas walaupun PII tidak mendasarkan Ta'dibnya kepada pemikiran Naquib. Istilah Ta'dib digunakan sebagai pembeda dari istilah tarbiyah yang menurut penyusun konsep kaderisasi PII tidak bermakna spesifik. Konsep tarbiyah bersifat umum sementara ta'dib lebih bersifat spesifik pada pendidikan dalam rangka menciptakan manusia yang lebih beradab.
Ta'dib sendiri merupakan sistem kaderisasi baru yang digunakan PII sejak era reformasi yang menandai munculnya kembali PII di ranah kehidupan publik setelah dibekukan oleh perintah orde baru dalam kasus pemaksaan asas tunggal. Sistem ini mengkombinasikan tiga model pembinaan kader melalui jalur training, ta'lim dan kursus.
Sistem Kaderisasi PII merupakan suatu pendekatan progresif dalam pembelajaran di Indonesia. Para kader dididik dengan pendekatan partisipatif dalam paradigma pendidikan orang dewasa (andragogi) yang mendorong tumbuhnya kesadaran kritis semenjak dini. Dalam pendidikan di PII setiap warga belajar dihormati sebagai orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan sehingga keberadaan mereka dihargai. Dalam proses pendidikan model ini, para instruktur bukanlah guru yang paling tahu tentang materi yang sedang dibahas melainkan hanya fasilitator yang juga belajar dalam proses itu. Pendekatan ini telah dilakukan PII semenjak tahun 1960-an.

[sunting] Training

Training merupakan jantung kaderisasi PII. Durasi training berlangsung selama masing-masing 6 - 8 hari. Ada 3 jenjang training yakni Basic Training, Intermediate Training, dan Advanced Training

[sunting] Ta'lim

Ta'lim merupakan sarana pembinaan keislaman kader secara berkelanjutan. Terdapat 3 jenjang ta'lim yakni Ta'lim Awwal, Ta'lim Wustha, dan Ta'lim 'Aly

[sunting] Kursus

Melalui kursus kader PII diberikan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan baik dalam bidang keislaman, kepemimpinan, maupun ilmu pengetahuan. Terdapat banyak paket kursus di PII seperti Forum Perkenalan Anggota (Foperta), Belajar Islam Bersama (BIB), Telaah Nilai Kepribadian Musliman (TNKM), Pendidikan Kader Tunas (PKT), Latihan Dasar Intensif Brigade (LDIB), Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD), Latihan Brigade Tingkat Lanjut (LBTL), Forum Pacu Prestasi Studi (Forpasdi), Pendidikan Muallim, Pendidikan Pemandu, Pendidikan Instruktur Dasar dan Lanjut, serta banyak kursus lainnya.

[sunting] Kerjasama Internasional

Sejak lama PII telah membuka kerjasama internasional dengan berbagai lembaga pelajar yang ada di berbagai negara. PII adalah pendiri Persatuan Pelajar Asia Tenggara (PEPIAT) bersama dengan PKPIM di Malaysia. PII juga anggota pendiri di International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO), anggota di World Assemby of Moslem Youth (WAMY), dll. Pada tahun 1995, Ketua Umum PB PII Abdul Hakam Naja terpilih sebagai Financial Secretary IIFSO. Setelah itu pada tahun 1997, Ketua Umum PB PII Muhammad Zaid Markarma terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PEPIAT.

[sunting] Alumni PII

Sebagai organisasi kader, masa aktif di PII sangat terbatas hanya pada usia sekolah/mahasiswa. Setelah itu, seorang kader menjadi alumni PII dan dikenal sebagai Keluarga Besar PII. Sebagian alumni PII melanjutkan aktifitasnya di organisasi atau lembaga lain sehingga seringkali lebih dikenal sebagai tokoh di lembaga tersebut. Sebagian besar alumni PII tahun 1960-an identik dengan alumni HMI selain ada juga yang menjadi anggota IMM, PMII, dan lainnya. Selanjutnya sebagian melanjutkan ke jalur politik namun cenderung tidak monolitik sehingga tersebar di berbagai Partai Politik mulai dari Parpol Islamis sampai Parpol Sekular. Di samping jalur politik, tidak sedikit di antara mereka menjadi kaum profesional, pegawai, pengusaha, guru, tentara, pendakwah, pekerja sosial dan lainnya. Beberapa alumni PII antara lain Adi Sasono (ICMI), Umar Anggara Jenie (Peneliti Senior), Sugeng Sarjadi (SSS), Utomo Danajaya (Paramadina), Jimly Asshiddiqie, Hatta Rajasa, Sutrisno Bachir, Ganjar Kurnia (Rektor Universitas Padjajaran), Taufiq Ismail (Penyair), Ebiet G. Ade (Penyanyi), Sofyan Jalil (Profesional), KH. Cholil Ridhwan (Ulama), Arief Rahman (Pakar Pendidikan), Hasyim Muzadi (NU), Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI), Musthafa Abu Bakar (Meneg BUMN), dan Tifatul Sembiring (Menkominfo)
Sebagai sarana komunikasi antar alumni PII dibentuk suatu wadah Perhimpunan Keluarga Besar PII (Perhimpunan KB PII) yang menggalang sinergitas antar alumni PII dari berbagai sektor. Perhimpunan KB PII pernah dipimpin oleh Letjend (Purn) ZA Maulani, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Saat ini perhimpunan KB PII dipimpin oleh DR. Tanri Abeng.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons